Minggu, 25 November 2012

bentang ayunan


makam nyi arum sari adik prabu bentang ayunan, syaikh Ahmad bin muhamad(guru), syaikh Abdurahman(kerabat guru), dan Raden Arya bobot(adik ipar)

sejarah kanci bentang ayunan

di dalam era modern ini peninjauan sejarah sangatlah enggan di lakukan oleh generasi muda maupun kalangan intelektual mungkin terkesan sangatlah tradisionil, karena sejarah sesuatu yang telah lampau bahkan ratusan mungkin juga bisa ribuan tahun silam. dalam blog ini saya akan memaparkan sejarah yang sedikit berbau mitos karena cenderung banyak mengandung cerita - cerita rakyat berupa legenda rakyat kanci tentang bentang ayunan/prabu bentang ayunan/ki geden kanci.
beliau adalah tokoh legenda / cerita rakyat kanci sebagai pemimpin di pedukuhan kanci. masa hidup beliau kurang lebih sekitar tahun sebelum Mbah kuwu sangkan membabat alas caruban. beliau adalah seorang pendekar yang gagah berani yang selalu membela kebenaran dan keadilan untuk rakyat kanci dan sekitarnya, beliau hidup pada masa kerajaan japura (prabu Amuk Marugul) dan kerajaan hindu padjajaran (prabu dewata niskala/prabu wangi/prabusiliwangi) lebih di kenal oleh masyarakat dengan sebutan siliwangi.
beliau beragama muslim guru agama islam beliau datang dari negara sebrang timur lebih tepatnya menurut cerita dari negara baghdad nama guru beliau adalah Syaikh Ahmad bin Muhamad al baghdadi beliau di utus oleh teman seperjuangan dalam menyebarkan agama islam (Syaikh Nur Djati ) yang pesantrennya terletak di daerah amparan gunung jati.
bentang ayunan di tugaskan oleh eyang prabu siliwangi untuk menjaga daerah perbatasan antara wilayah padjajaran dengan japura sedangkan syaikh Ahmad bin Muhamad berperan untuk mengislamkan masyarakat perbatasan dan juga tokoh - tokoh nya termasuk Ki geden kanci/prabu betang ayunan. wilayah perbatasan dengan penjaggan bentang ayunan bisa dikendalikan keamanan dan ketentramannya.
dari cerita rakyat kanci sendiri tidak ada yang tahu persis dimana letak peristirahatan beliau, menurut saya sendiri mungkin beliu mukso bersama keluhuran beliau dalam menjalankan perintah gurunya.

kisah putri kanci

adik bentang ayunan yaitu Nyi mas Arum sari terkenal akan kecantikannya bahkan sampai terdengar oleh seorang juragan nelayan dari desa sebelah (waruduwur) namanya adalah Ki geden gajah peminggiran. kemudian ki geden gajah peminggiran menghadap kakak nyimas Arum sari/bentang ayunan untuk melamar adiknya, karena kurang cocok hati dan fikiran maka bentang ayunan berkonsultasi kepada gurunya untuk menghadapi gajah peminggiran.bentang ayunan dalam lamaran adiknya meminta emas se kapal yang biasa di gunakan dalam mencari ikan dan gajah peminggiran pun menyanggupinya. saking ingin sekali mendapatkan kecantikan nyimas arumsari gajah peminggiran datang legi untuk melamar dengan membawa semua syarat yang di ajukan oleh bentang ayunan, akan tetapi karena bentang ayunan tidak pernah mengharapkan gajah peminggiran untuk menjadi adik iparnya maka lamaran itu dengan terang-terangan ditolak. 
gajah peminggiran pun marah dan meminta agar segera bertarung maka terjadilah pertempuran antara prabu bentang ayunan den ki gajah peminggiran, dari pertempuran ini prabu bentang ayunan dapat dikalahkan namun belum meninggal. kemudian prabu bentang ayunan di sembuhkan lagi oleh gurunya dgn ajian(.....?) dan di lakukan pertempuran lagi, gajah peminggiran pun dapat dikalahkan. sementara itu adik beliau nyimas arum sari ikut dengan Syaikh Ahmad bin Muhamad pergi ketempat untuk menenangkan diri dan melanjutkan menyebarkan islam dan sampai sekarang makam beliau ada di daera ci kanci perbatasan antara cirebon dengan kuningan belok kanan(cilimus)lurus caracas(cibuntu) makamnya terletak di atas bukit pinggir jalan. sementara eyang prabu bentang ayunan/ki geden kanci belum bisa di temukan makam/jejak beliau ataukah beliau muksa. semoga kita selalu mendapatkan perlindungan dan hidayah dari Allah SWT amin. 

sumber cerita rakyat kanci

Sabtu, 24 November 2012

KH. Abbas Abdul Djamil Buntet

KH. Abbas Abdul Djamil Buntet (1879 – 1946) (Tulisan Kedua - Habis)
11 Agustus 2006 16:37:02 | Share
 Memimpin Pesantren Buntet
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanaya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet Warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif.Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.
Walaupun namanya sudah terkenal diseantero pulau jawa, baik karena kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat Dhuhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Melawan Penjajah Belanda
Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para kiai. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan. Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, makaa pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu Kiai Abbas mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka, karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar pribadinya. Dalam mkamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.
Dengan gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat itu menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjaajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.
Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.

Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali rtepublik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pessantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya
Berjuang Hingga Akhir Hayat
Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja perundingan. Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus digelar, terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya penjajahan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu bepata kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hail perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.

Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalanagan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan. (NU online/Abdul Munim DZ)