KH. Abbas Abdul Djamil Buntet (1879 – 1946)
(Tulisan Kedua - Habis)
11 Agustus 2006 16:37:02 |
Share
Memimpin Pesantren Buntet
Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di
Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah,
serta upayanaya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur
Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan
Pesantren Buntet Warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan.
Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet
semakin tinggi.
Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah
kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang
mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi
Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan
pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu
juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih
mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni
Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fikih memang
merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut
kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai
seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif.Namun demikian ia tetap
rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak
menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah
dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa
ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya
kembali.
Walaupun namanya sudah terkenal diseantero pulau jawa, baik karena
kesaktiannya maupun karena kealimannya, tetapi Kiai Abbas tetap hidup
sederhana. Di langgar yang beratapkan genteng itu, ada dua kamar dan ruang
terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang
terbuka inilah kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya. Setiap usai shalat
Dhuhur atau Ashar, sebuah langgar yang berada di pesantren Buntet, Cirebon itu
selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok
daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga
ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama,
melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Melawan Penjajah Belanda
Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya
tetap gagah dan perkasa. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih,
selalu di tutupi peci putih yang dilengkapi serban – seperti lazimnya para
kiai. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning,
juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya
wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan
penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan. Oleh
karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat
itu sedang menuju puncaknya, makaa pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih
mendesak untuk mencapai kemerdekaan.
Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar
kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah
diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas.
Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak
memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu
kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan
penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah
Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.
Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucu-cucunya. Karena itu
Kiai Abbas mulai merintis perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu
kesaktian pada masyarakat.
Tentu saja yang berguru pada Kiai Abbas bukan orang sembarangan, atau
pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Maka
begitu kedatangan tamu ia sudah bisa mengukur seberapa tinggi kesaktian mereka,
karena itu Kiai Abbas menerima tamu tertentu langsung dibawa masuk ke kamar
pribadinya. Dalam mkamar mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan
duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya sang kiai
mengijazahi berbagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan
mereka bertambah.
Dengan gerakan itu maka pusantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan
kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet saat
itu menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam
barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan
yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan
berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa
semasa penjaajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk
melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua
militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH.
Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH.
Mujahid.
Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal
dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas.
Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di
daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan
Cimaneungteung yang terletak didaeah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup
Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tesebut terus dipertahankan sampai
terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua
tentaranya hizrah ke Yogyakarta.
Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal
adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia
di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet
Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan
musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah
front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren
yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib,
Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.
Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi
pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946.
Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad
pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim
Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi
kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih
dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya datang ke Surabaya.
Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas
beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang
tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas
restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam
pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para
pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan
untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali rtepublik ini, seperti ke
Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.
Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela
diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan
khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai
Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak
memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat,
yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH.
Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda
Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran
mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir
itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu
lagi. Tradisi pessantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling
menopang, tanpa salah satunya yantg lain tidak berjalan, karena itu semua
merupakan tradisi dalam totalitasnya
Berjuang Hingga Akhir Hayat
Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh
gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan
kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai
Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapanagan maupun di meja
perundingan. Sementara laskar masih terus disiagakan. Berbagai latihan terus
digelar, terutama bagi kalangan muda yang baru masuk kelaskaran. Berbagai
daerah juga dibuka simpul kelaskaran yang siap menghadapi kembalinya
penjajahan.
Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga
dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu
bepata kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu,
ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan
Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hail perjanjian
itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh
sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin
gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946
Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.
Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren
Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya
mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya
dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya
dengan frontal. Akibatnya pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan
pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi,
baik dari kalanagan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan
pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas,
kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai
Pesantren perjuangan. (NU online/Abdul Munim DZ)